Label

Kamis, 27 Februari 2014

Senyuman Indah Untuk Aji

Sudah hampir sejam aku menunggu panggilan dari Aji. Aku khawatir dia mendapat masalah lagi dengan Ilyas, mantanku. Ingin rasanya aku menyusul Aji saja, tapi aku takut kalau itu malah akan menambah masalah Aji. Aku mencoba bersabar dan menenangkan diriku dulu.
Aku beranjak dari kursi bambuku seketika melihat Aji datang membawa sekantong plastik hitam yang aku tak tau apa isinya.
“Makan siang datang !!!” Senyum Aji malah membuatku semakin penasaran.
“Apa yang dilakukannya padamu?”
“Nya? Nya siapa?” Aji duduk di kursi bambu dan membuka kantong plastik yang dibawanya.
“Ilyas dan segerombolannya itu.”
“Ooh, kau tidak usah khawatir, aku tidak bertemu mereka hari ini.”
“ Berarti ada peluang kalau kau bertemu mereka besok?”
“Hmm… mungkin..” melirikku dan tertawa. “Hahaha, aku ini tidak sekarat, kau tidah usah sekhawatir itu padaku. Ayo makan ini.” Ia menyodorkan sekotak nasi goreng padaku.
Keesokan harinya, saat pulang sekolah aku mendapati Ilyas sedang berbicara dengan Aji. Karna takut aku langsung menghampiri mereka. Tetapi Ilyas segera pergi saat melihat ku menghampirinya. Aku tak menghiraukannya, aku langsung bertanya pada Aji, tapi Aji malah membuatku kaget.
“Aku bukan anak kecil lagi ! jangan mengekang ku seperti ini terus !”
Jantungku terasa berhenti mendengar ucapan Aji yang sama sekali belum pernah aku dengar sebelumnya. Lalu ia pergi tanpa menghiraukanku. Aku hanya bisa terdiam membisu.
Saat perjalanan pulang, aku tak kuasa menahan bendungan air mataku, aku ingin teriak sekuat-kuatnya. Mengapa Aji tega berkata seperti itu padaku?. Tiba-tiba telepon genggamku bergetar, aku mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon, ternyata Aji, aku membiarkannya, aku sudah cukup kecewa dengan apa yang ia katakan tadi.
Lalu aku duduk di sebuah bangku taman. Dalam keadaan masih menangis. Tiba-tiba Ilyas datang dan mencoba bertanya padaku apa yang terjadi. Tapi aku hanya menjawab
“Aku mohon, tolong jangan ganggu hidup aku dan Aji. Aku ingin hidup tenang. Tolong jauhi kami !”
“Mengapa kau berbicara seperti itu? Baiklah, aku tidak akan mengganggu Aji lagi. Tapi bagaimana dengan kau? Kau menangis seorang diri seperti ini. Pasti kau sedang bertengkar dengan Aji.”
“Itu bukan urusanmu. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi tolong jauhi diriku !” aku bergegas pergi tapi Ilyas memegang kuat tangan ku.
“Aku hanya ingin menjalin silaturahmi padamu. Apa menurut mu itu berdosa?”
“Aku bukan sombong, tetapi lebih baik kita jaga jarak agar tidak mendapatkan masalah yang lebih besar.” Aku melepaskan tangan ku dari genggamannya dan pergi.
Aku tidak tau apa lagi yang direncanakan Ilyas kali ini. Apakah ia akan menghajar Aji habis-habisan karena kami sedang bertengkar?
Keesokan harinya, saat membuka pintu, aku melihat Aji sudah menunggu. Dia menatapku, tetapi aku memalingkan wajahku, mengunci pintu, dan pergi berlalu. Tetapi dia menarik tanganku.
“Aku ingin bicara.”
“Aku tidak ada waktu.”
Lalu dia memelukku, tetapi aku malah menamparnya, aku kaget dengan sikap ku, mengapa aku tiba-tiba menamparnya. Karena bingung, aku segera berlari meninggalkan Aji yang mencoba menghadangku pergi.
Sekolah telah usai. Aku melihat ke lorong sekolah untuk melihat apakah Ilyas cari gara-gara lagi. Ternyata tidak. Tetapi Ilyas mengejutkan ku..
“Ada apa lagi?!”
“Aku ingin memperlihatkanmu sesuatu.”
“Aku tidak punya waktu untuk itu !”
“ Hanya sebentar, ikuti aku.” Ilyas menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya karna cengkramannya terlalu kuat sampai membuat tangan ku merah.
Ilyas membawaku ke aula. Aku melihat segerombolan temannya dan seseorang yang sedang di pegang oleh 2 orang dalam keadaan lemas. Aku tak bisa melihat siapa dia karena wajahnya tertutup kain. Sepertinya orang itu akan dikroyok.
“Mengapa kau membawaku ke sini?”
Mereka pun semua tertawa. Lalu Ilyas membuka tutup kain orang itu. Dan ternyata….
“Aji?!”
“Hahahaha.. Apa kau terkejut? Mengapa kau diam saja? Mengapa kau tidak membantu dia? Mengapa kau tidak memukulku?” mereka tertawa lagi.
Aku melihat Aji dalam keadaan lemas. Tapi Aji menatapku seolah-olah menyuruhku untuk pergi. Sebenarnya aku ingin menolong Aji, tapi kekecewaan ku terhadap perkataannya kemaren belum hilang sampai saaat ini.
“Aku fikir ini permainan laki-laki. Jadi aku tidak pantas berada disini. Lagipula…. Dia bukan anak kecil lagi, dia pasti bisa tanpa aku.”
Aku menatap marah Aji, Aji pun menundukkan kepalanya. Ilyas dan kawan-kawannya pun tertawa, lalu aku pergi. Tetapi tiba-tiba aku mendengar suara tumbukan. AKu menoleh ke belakang, ternyata mereka menghajar Aji. Aku terkejut dan melihat Aji berdarah. Aku berdiri kaku seakan menjadi penonton di Coloseum. Aku bingung. Aku ingin menyelamatkan Aji. Mata ku tertuju pada tongkat besi yang cukup berat. Saat aku melihat Ilyas ingin menghajar Aji, tongkat yang ku pegang sudah lebih dulu mendarat ke punggungnya. Ia pun terjatuh ke bawah. Lalu aku mencoba memukul yang lainnya, tetapi Ilyas menyuruh yang lain keluar.
Aku membuang tongkat itu, dan langsung menghampiri Aji. Aku mengambil sapu tangan dan membersihkan darah yang ada di hidungnya. Aku juga mengambil plester luka dan menempelkannya ke luka yang ada di tubuh Aji. Ia terkujur lemas, tapi matanya masih bisa menatapku. Tangannya menggenggam erat tanganku, sambil mencoba berkata..
“Ma..maafkan aku Fitri. A..Aku me…menyesal mem..bentak..mu tempo ha..hari.”
Aku meneteskan air mataku sambil mengusap wajahnya.
“To…tolong  jaga di..rimu baik baik. Carilah ca..calon suami yang bi..bisa membahagiakan..mu.”
“Apa yang kau katakan?! Aku ingin tetap bersamamu. Kau masih bisa membahagiakanku. Kau tak boleh pergi kemanapun!!”
Aji mengusap air mataku dengan tangannya.
“A..Aku sangat men..cintaimu.”
“Aku juga, jadi bertahanlah, aku akan menelfon rumah sakit.”
Aku mengambil telepon genggamku dan mengetik nomor rumah sakit, tetapi tangan Aji mengambil teleponku dan memegang kedua tanganku.
          “Berjanjilah padaku kau akan menemukan lelaki yang bisa menjaga dirimu. Dan berjanjilah padaku kau akan menjalani hidupmu dengan bahagia walau hanya seorang diri.”
          “Aji ! tutup mulutmu ! kau akan selamat ! Aku akan menelfon ambulans.”
Aku mengambil telepon genggamku dan menelepon ambulans. Beberapa menit kemudian, ambulans pun tiba di gerbang sekolah. Aku keluar aula untuk memanggil mereka. Saat aku berbalik dan mencoba menggendong Aji, aku dapati mata nya yang sudah tertutup rapat, aku rasakan dingin tangannya, aku rasakan detak jantungnya yang tak lagi berdetak. Para petugas ambulans datang dan membawa badan Aji yang sudah tak bernyawa itu. Aku hanya diam mematung, mulutku terkunci rapat, mataku penuh dengan air mata, semua badanku gemetar, aku merasakan ini semua hanya mimpi. Lalu seorang suster menyadarkanku, dan berkata..
          “Berusaha tegar akan membuat dia lebih tenang di alam sana. Ingatlah kata-kata terakhir darinya, coba buat dia tersenyum meski kau tak bisa melihat senyumnya secara langsung.”
          Suster itu seperti malaikat bagiku. Setelah merenung beberapa saat, aku tersenyum, aku akan selalu mengingat kata-kata suster itu, aku akan tegar demi Aji, kekasihku. Semoga kau tenang disana Aji, aku akan merindukanmu. Aku berjalan keluar aula dengan senyuman ikhlas, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Itu semua kulakukan untuk Aji. Hanya Aji…
--------


Tidak ada komentar: