Senyuman
Indah Untuk Aji
Sudah
hampir sejam aku menunggu panggilan dari Aji. Aku khawatir dia mendapat masalah
lagi dengan Ilyas, mantanku. Ingin rasanya aku menyusul Aji saja, tapi aku
takut kalau itu malah akan menambah masalah Aji. Aku mencoba bersabar dan
menenangkan diriku dulu.
Aku
beranjak dari kursi bambuku seketika melihat Aji datang membawa sekantong
plastik hitam yang aku tak tau apa isinya.
“Makan
siang datang !!!” Senyum Aji malah membuatku semakin penasaran.
“Apa
yang dilakukannya padamu?”
“Nya?
Nya siapa?” Aji duduk di kursi bambu dan membuka kantong plastik yang
dibawanya.
“Ilyas
dan segerombolannya itu.”
“Ooh,
kau tidak usah khawatir, aku tidak bertemu mereka hari ini.”
“
Berarti ada peluang kalau kau bertemu mereka besok?”
“Hmm…
mungkin..” melirikku dan tertawa. “Hahaha, aku ini tidak sekarat, kau tidah
usah sekhawatir itu padaku. Ayo makan ini.” Ia menyodorkan sekotak nasi goreng
padaku.
Keesokan
harinya, saat pulang sekolah aku mendapati Ilyas sedang berbicara dengan Aji.
Karna takut aku langsung menghampiri mereka. Tetapi Ilyas segera pergi saat
melihat ku menghampirinya. Aku tak menghiraukannya, aku langsung bertanya pada
Aji, tapi Aji malah membuatku kaget.
“Aku
bukan anak kecil lagi ! jangan mengekang ku seperti ini terus !”
Jantungku
terasa berhenti mendengar ucapan Aji yang sama sekali belum pernah aku dengar
sebelumnya. Lalu ia pergi tanpa menghiraukanku. Aku hanya bisa terdiam membisu.
Saat
perjalanan pulang, aku tak kuasa menahan bendungan air mataku, aku ingin teriak
sekuat-kuatnya. Mengapa Aji tega berkata seperti itu padaku?. Tiba-tiba telepon
genggamku bergetar, aku mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon, ternyata
Aji, aku membiarkannya, aku sudah cukup kecewa dengan apa yang ia katakan tadi.
Lalu
aku duduk di sebuah bangku taman. Dalam keadaan masih menangis. Tiba-tiba Ilyas
datang dan mencoba bertanya padaku apa yang terjadi. Tapi aku hanya menjawab
“Aku
mohon, tolong jangan ganggu hidup aku dan Aji. Aku ingin hidup tenang. Tolong jauhi
kami !”
“Mengapa
kau berbicara seperti itu? Baiklah, aku tidak akan mengganggu Aji lagi. Tapi bagaimana
dengan kau? Kau menangis seorang diri seperti ini. Pasti kau sedang bertengkar
dengan Aji.”
“Itu
bukan urusanmu. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi tolong jauhi
diriku !” aku bergegas pergi tapi Ilyas memegang kuat tangan ku.
“Aku
hanya ingin menjalin silaturahmi padamu. Apa menurut mu itu berdosa?”
“Aku
bukan sombong, tetapi lebih baik kita jaga jarak agar tidak mendapatkan masalah
yang lebih besar.” Aku melepaskan tangan ku dari genggamannya dan pergi.
Aku
tidak tau apa lagi yang direncanakan Ilyas kali ini. Apakah ia akan menghajar
Aji habis-habisan karena kami sedang bertengkar?
Keesokan
harinya, saat membuka pintu, aku melihat Aji sudah menunggu. Dia menatapku,
tetapi aku memalingkan wajahku, mengunci pintu, dan pergi berlalu. Tetapi dia
menarik tanganku.
“Aku
ingin bicara.”
“Aku
tidak ada waktu.”
Lalu
dia memelukku, tetapi aku malah menamparnya, aku kaget dengan sikap ku, mengapa
aku tiba-tiba menamparnya. Karena bingung, aku segera berlari meninggalkan Aji
yang mencoba menghadangku pergi.
Sekolah
telah usai. Aku melihat ke lorong sekolah untuk melihat apakah Ilyas cari
gara-gara lagi. Ternyata tidak. Tetapi Ilyas mengejutkan ku..
“Ada
apa lagi?!”
“Aku
ingin memperlihatkanmu sesuatu.”
“Aku
tidak punya waktu untuk itu !”
“
Hanya sebentar, ikuti aku.” Ilyas menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya
karna cengkramannya terlalu kuat sampai membuat tangan ku merah.
Ilyas
membawaku ke aula. Aku melihat segerombolan temannya dan seseorang yang sedang
di pegang oleh 2 orang dalam keadaan lemas. Aku tak bisa melihat siapa dia
karena wajahnya tertutup kain. Sepertinya orang itu akan dikroyok.
“Mengapa
kau membawaku ke sini?”
Mereka
pun semua tertawa. Lalu Ilyas membuka tutup kain orang itu. Dan ternyata….
“Aji?!”
“Hahahaha..
Apa kau terkejut? Mengapa kau diam saja? Mengapa kau tidak membantu dia? Mengapa
kau tidak memukulku?” mereka tertawa lagi.
Aku
melihat Aji dalam keadaan lemas. Tapi Aji menatapku seolah-olah menyuruhku
untuk pergi. Sebenarnya aku ingin menolong Aji, tapi kekecewaan ku terhadap
perkataannya kemaren belum hilang sampai saaat ini.
“Aku
fikir ini permainan laki-laki. Jadi aku tidak pantas berada disini. Lagipula…. Dia
bukan anak kecil lagi, dia pasti bisa tanpa aku.”
Aku
menatap marah Aji, Aji pun menundukkan kepalanya. Ilyas dan kawan-kawannya pun
tertawa, lalu aku pergi. Tetapi tiba-tiba aku mendengar suara tumbukan. AKu
menoleh ke belakang, ternyata mereka menghajar Aji. Aku terkejut dan melihat
Aji berdarah. Aku berdiri kaku seakan menjadi penonton di Coloseum. Aku bingung.
Aku ingin menyelamatkan Aji. Mata ku tertuju pada tongkat besi yang cukup
berat. Saat aku melihat Ilyas ingin menghajar Aji, tongkat yang ku pegang sudah
lebih dulu mendarat ke punggungnya. Ia pun terjatuh ke bawah. Lalu aku mencoba
memukul yang lainnya, tetapi Ilyas menyuruh yang lain keluar.
Aku
membuang tongkat itu, dan langsung menghampiri Aji. Aku mengambil sapu tangan
dan membersihkan darah yang ada di hidungnya. Aku juga mengambil plester luka
dan menempelkannya ke luka yang ada di tubuh Aji. Ia terkujur lemas, tapi
matanya masih bisa menatapku. Tangannya menggenggam erat tanganku, sambil
mencoba berkata..
“Ma..maafkan
aku Fitri. A..Aku me…menyesal mem..bentak..mu tempo ha..hari.”
Aku
meneteskan air mataku sambil mengusap wajahnya.
“To…tolong jaga di..rimu baik baik. Carilah ca..calon
suami yang bi..bisa membahagiakan..mu.”
“Apa
yang kau katakan?! Aku ingin tetap bersamamu. Kau masih bisa membahagiakanku. Kau
tak boleh pergi kemanapun!!”
Aji
mengusap air mataku dengan tangannya.
“A..Aku
sangat men..cintaimu.”
“Aku
juga, jadi bertahanlah, aku akan menelfon rumah sakit.”
Aku mengambil
telepon genggamku dan mengetik nomor rumah sakit, tetapi tangan Aji mengambil
teleponku dan memegang kedua tanganku.
“Berjanjilah padaku kau akan menemukan
lelaki yang bisa menjaga dirimu. Dan berjanjilah padaku kau akan menjalani
hidupmu dengan bahagia walau hanya seorang diri.”
“Aji ! tutup mulutmu ! kau akan
selamat ! Aku akan menelfon ambulans.”
Aku mengambil
telepon genggamku dan menelepon ambulans. Beberapa menit kemudian, ambulans pun
tiba di gerbang sekolah. Aku keluar aula untuk memanggil mereka. Saat aku
berbalik dan mencoba menggendong Aji, aku dapati mata nya yang sudah tertutup
rapat, aku rasakan dingin tangannya, aku rasakan detak jantungnya yang tak lagi
berdetak. Para petugas ambulans datang dan membawa badan Aji yang sudah tak
bernyawa itu. Aku hanya diam mematung, mulutku terkunci rapat, mataku penuh
dengan air mata, semua badanku gemetar, aku merasakan ini semua hanya mimpi. Lalu
seorang suster menyadarkanku, dan berkata..
“Berusaha tegar akan membuat dia lebih
tenang di alam sana. Ingatlah kata-kata terakhir darinya, coba buat dia
tersenyum meski kau tak bisa melihat senyumnya secara langsung.”
Suster itu seperti malaikat bagiku. Setelah
merenung beberapa saat, aku tersenyum, aku akan selalu mengingat kata-kata
suster itu, aku akan tegar demi Aji, kekasihku. Semoga kau tenang disana Aji,
aku akan merindukanmu. Aku berjalan keluar aula dengan senyuman ikhlas,
seolah-olah tidak ada yang terjadi. Itu semua kulakukan untuk Aji. Hanya Aji…
--------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar